Artikel ini ditulis oleh Mahasiswa Semester 1 MIE an. Josephine Surya

I. Pendahuluan

Era globalisasi yang menuntut pergerakan serba cepat serta digitalisasi dalam proses bisnis, mendorong seluruh kegiatan perekonomian, industri hingga pendidikan untuk menjadi inovatif dan adaptif. Secara khusus dapat diamati pada proses bisnis di industri, dimana industri dituntut untuk memahami dinamika permintaan konsumen dan memenuhi kebutuhan yang semakin kompleks. Manusia akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan pokok sebagai penunjang utama keberlangsungan hidup, yaitu sandang (pakaian), pangan (makanan) serta papan (rumah). Kebutuhan sandang dan pangan dapat diperoleh dengan mudah, namun tidak demikian dengan kebutuhan papan. Kebutuhan papan adalah kebutuhan akan rumah atau tempat tinggal yang layak, nyaman dan aman. Berdasarkan survei oleh PT. Bank Tabungan Negara atau BTN pada tahun 2021, didapati alasan utama generasi milenial belum mampu membeli rumah pertama adalah terhalang kondisi finansial dengan persentase jawaban sebesar 63,1 persen. [1]

Dengan adanya kendala finansial, hal ini akan mempengaruhi daya beli masyarakat terhadap berbagai produk, khususnya dalam memenuhi kebutuhan papan seperti furnitur dan perabot rumah. Ketidakstabilan pada batasan yang ada di dunia saat ini membuat kegiatan operasional menjadi lebih rentan terhadap beberapa gangguan. [2] Masyarakat akan memilih produk dengan harga murah, durabilitas terjamin serta tidak perlu menunggu waktu lama. Secara konvensional, untuk melakukan pemesanan furnitur biasanya dapat dilakukan dengan datang ke toko, memilih bahan, mengukur lalu setelah melakukan pembayaran, toko akan membuat laporan ke supplier agar membuat produk sesuai spesifikasi – proses ini yang disebut sebagai make-to-order. Selain membutuhkan biaya yang tinggi, waktu yang dibutuhkan baik konsumen maupun toko dan supllier akan lebih panjang. IKEA sebagai salah satu perusahaan furnitur global mampu merespon dan mengatasi tantangan tersebut melalui transformasi digital dalam sistem rantai pasoknya.

Transformasi digital adalah tahapan perubahan besar dan fundamental dalam tata cara bisnis, perilaku organisasi serta interaksi dengan seluruh stakeholder pada sebuah perusahaan melalui penggunaan teknologi untuk mencapai tujuan strategis. [3] Transformasi digital menjadi pondasi dalam pengembangan rantai pasok modern yang tidak hanya tangguh dan responsif, tetapi juga selaras dengan prinsip keberlanjutan dan berorientasi pada kepuasan pelanggan. Dengan penerapan transformasi digital, perusahaan mampu mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang dimilikinya. [4] Oleh karena itu, kajian terhadap strategi rantai pasok IKEA menjadi relevan dalam memahami bagaimana perusahaan global beradaptasi dalam dinamika bisnis yang kian berubah.

Beberapa waktu lalu, dunia mengalami guncangan melalui pandemi COVID-19, virus Zika hingga merebaknya kembali virus Ebola. Diperlukan adanya respon perencanaan kritis untuk mengantisipasi guncangan agar tidak mengganggu proses rantai pasok yang sudah berjalan di setiap perusahaan. [5] Perubahan yang terjadi tampak dalam model bisnis yang dijalankan perusahaan, dimana secara konvensional konsumen datang ke toko fisik untuk melakukan pembelian namun kini berubah menjadi toko online dimana konsumen dapat melakukan transaksi dari rumah. Kendati demikian, kondisi ini telah menciptakan lingkungan

ekonomi modern yang didukung oleh sebagian besar perusahaan untuk berkembang. Masa depan pasar bergantung pada kapasitas perusahaan untuk menghasilkan pendapatan dan mempertahankan keunggulan kompetitif melalui penerapan digitalisasi. Seperti pada IKEA yang melayani di pasar dengan pelanggan yang kematangan digitalnya sedang berkembang. [6]

IKEA adalah perusahaan ritel furnitur yang menawarkan furnitur dengan proses rakitan sendiri. Selain itu terdapat juga aksesoris rumah, dapur, peralatan rumah tangga serta produk household lainnya. Meskipun perusahaan memiliki fokus pada perancangan, produksi serta penjualan furnitur, IKEA memiliki inovasi baru dalam kiatnya sebagai strategi pemasaran, yaitu dengan mengelola restoran, jasa konsultasi desain interior dan juga pengelolaan daur ulang sampah. Pada tahun 2021, IKEA memiliki valuasi lebih dari $21 milia dan menjadikan merek ritel furnitur paling bernilai di seluruh dunia. Lebih dari itu, IKEA memiliki 50 pasar online disamping toko fisik di 458 lokasi di seluruh dunia. [7][8] Jesper Brodin, CEO IKEA Group menekankan bahwa digitalisasi harus menjadi bagian dari rancangan masa depan IKEA, bukan hanya sebagai tambahan teknologi melainkan peningkatan dari sisi kemudahan, efisiensi serta sustainability.

 


Gambar 1. Rantai pasok IKEA

 

II. Fase Transformasi Digital IKEA

Perubahan lingkungan bisnis yang dihadapi IKEA mendorong perusahaan untuk inovatif dan adaptif dalam memberikan layanan sekaligus sebagai respon terhadap permintaan konsumen. Berbeda dengan optimalisasi digital yang menekankan pada peningkatan proses atau inovasi digital dengan penciptaan solusi baru, transformasi digital mengarah pada perubahan komprehensif dalam cara dan fungsi bisnis. Transformasi digital yang IKEA lakukan bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, mendorong inovasi dan memenuhi kebutuhan pelanggan yang terus berkembang dengan lebih baik. Adapun inti dari transformasi digital adalah melibatkan pendekatan berbasis pelanggan (customer-driven approach) yang memprioritaskan kebutuhan dan pengalaman pelanggan serta perubahan holistik (holistic change) dengan membentuk kembali model bisnis, proses dan operasi. [9] Berikut ini beberapa fase transformasi digital yang dilakukan IKEA:

  1. Pengembangan E-Commerce dan Aplikasi Mobile

Pada tahun 2014, IKEA pertama kali menyadari bahwa toko fisik mereka mengalami penurunan jumlah pengunjung. Peninjauan dilakukan oleh tim IKEA hingga didapati penyebab utamanya, yaitu penggunaan e-commerce salah satu pasar online terbesar di dunia yang dikenal dengan nama Amazon. Dari sinilah IKEA memulai langkah digitalisasinya dengan mencoba memahami apa dan bagaimana e-commerce berjalan untuk produk-produk rumah tangga yang dihasilkan. Proses ini tidak berjalan lancar dan cenderung mengalami kegagalan internal karena perusahaan tidak memahami dengan benar perbedaan digitalisasi dan e-commerce. Pemahaman tersebut bahkan bervariasi di dalam organisasi IKEA, dimana anggotanya masih cenderung menggunakan istilah digitalisasi dan e-commerce secara bergantian, “Kami memasukkan semuanya ke dalam satu keranjang dan mengatakan bahwa e-commerce sama dengan digitalisasi. Butuh waktu lama sebelum kami memahami bahwa keduanya adalah dua hal yang berbeda,” ujar Manajer Rantai Pasok IKEA, Susanne Waidzunas. [10]

Proses digitalisasi tidak terhindarkan dari peluncuran aplikasi yang berisi katalog serta wadah untuk melakukan pemesanan (order) produk. IKEA mengembangkan pasar online berbasis website sekaligus aplikasi yang dapat diunduh, baik untuk jenis telepon genggam dengan perangkat lunak Android maupun iOs. Selain itu, platform belanja online yang dipresentasikan memiliki tampilan sederhana namun lebih cepat dan intuitif. Hal ini dimaksudkan agar konsumen lebih mudah memilih produk berdasarkan histori pencarian dan memunculkan saran-saran produk terkait.


Gambar 2. Landing page website e-commerce IKEA Indonesia


Gambar 3. Fitur-fitur website e-commerce IKEA

Penambahan teknologi augmented reality atau AR seperti pada aplikasi IKEA Place, mampu menampilkan furnitur dalam skala ruang nyata. Tingkat presisi yang dihasilkan dari AR ini mencapai 98%, dimana konsumen dapat melihat tekstur kain hingga cahaya dan bayangan yang ditampilkan pada perabot rumah tangga. Michael Valdsgaard, pemimpin transformasi digital di IKEA Inter Systems menyatakan bahwa, “IKEA Place memudahkan anda membuat keputusan pembelian dari tempat anda sendiri, mendapatkan inspirasi dan mencoba berbagai produk, gaya dan warna secara virtual di lingkungan nyata melalui perangkat seluler. Karena teknologi AR telah menjadi penting dalam kehidupan masyarakat kontemporer yang berubah dengan cepat. IKEA Place memungkinkan kami mendefinisikan ulang pengalaman perabotan rumah, dalam visi kami untuk menciptakan kehidupan sehair-hari yang lebih baik bagi semua orang, dimana saja.” [11]


Gambar 4. Aplikasi IKEA Place


Gambar 5. Tampilan Aplikasi Mobile IKEA

 

  1. Digitalisasi Rantai Pasok dan Warehouse

Penerapan Internet of Things (IoT) dan Artificial Intelligence (AI) untuk prediksi permintaan serta manajemen inventori, dilakukan dengan penerapan deep learning. Model deep learning yang digunakan dengan dataset yang lebih besar dan beragam akan menghasilkan pengukuran kinerja rantai pasok, khususnya inventori. Melatih jaringan saraf (neural network pada deep learning) dengan data yang mengandung berbagai puncak musiman, kampanye pemasaran dan rentang pesanan pelanggan yang lebih luas akan menghasilkan model yang lebih akurat dan tangguh. Model tersebut tidak hanya dapat meningkatkan prediksi optimal gudang untuk penyelesaian pesanan tetapi juga memprediksi fluktuasi volume pesanan, yang sangat penting untuk perencanaan kapasitas dan manajemen persediaan. [12]

Sistem logistik IKEA terdiri atas manajemen rantai pasok, pusat distribusi dan sistem informasi logistik. Hal ini memungkinkan adanya otomatisasi gudang dan integrasi logistik secara digital. Ketelitian tinggi diperlukan agar tidak terjadi kesalahan dalam sistem logistik, meskipun dalam kenyataannya IKEA tetap tidak dapat sepenuhnya mengontrol akurasi jumlah inventori. Sistem pergudangan otomatis didasarkan pada penggunaan big data seperti kontrol PLC (Programmable Logic Controller), dengan unit pemrosesan pusat (CPU) sebagai inti dan didukung oleh

 

modul pasokan daya dan penyimpanan, untuk mencapai kontrol sistem pergudangan dan logistik yang presisi dan cerdas. Teknologi ini menyediakan pemrosesan efisien dan operasi logika untuk meningkatkan efisiensi pergudangan. Hal ini mengurangi biaya operasi manual, mengurangi kesalahan dan meningkatkan throughput pergudangan. [13] Dari penerapan ini, IKEA juga berhasil mengatur biaya dalam manajemen gudang dan meningkatkan efisiensi operasional. [14]


Gambar 6. Digitalisasi system rantai pasok dan warehouse

  1. Perubahan Model Operasi Toko

Toko fisik mengalami penataan ulang agar bisa mendukung proses pengambilan online order secara cepat dan terhubung. Selain itu, penerapan koridor cepat (fast corridor) yang memungkinkan pergerakan barang dengan efisien dan cepat baik melalui jalan raya, kereta api maupun kapal laut. Seperti pada kasus IKEA Italia Dimana penerapan koridor cepat ini memungkinkan produk masuk ke wilayah Italia dari luar Uni Eropa lebih cepat dan sistem Pelabuhan serta bea cukainya sudah terintegrasi secara elektronik. [15]


Gambar 7. Penambahan koridor cepat pada sistem rantai pasok IKEA Italia

IKEA juga mempekerjakan personel logistik didalam toko untuk menangani manajemen inventaris di tokonya. Manajer logistik didalam toko bertanggung jawab atas semua proses inventaris, memantau pengiriman, menyortir barang dan mengarahkannya ke lokasi yang benar. Tata letak showroom ditempatkan pada lantai atas sedangkan gudang di lantai dasar dengan stok lebih dari 9.500 produk. Pelanggan dapat mengambil produk pada rak simpan sesuai dengan nomor lorong atau blok dan kode artikel produk. Sedangkan untuk warehouse, IKEA membagi gudangnya menjadi dua jenis, yaitu fasilitas otomatis atau penjualan cepat serta fasilitas manual atau penjualan lambat. Hal ini memungkinkan Perusahaan untuk mengurangi biaya penanganan (produk dengan permintaan rendah) dan memastikan kelancaran aliran produk dengan permintaan tinggi. Seperti pada IKEA Indonesia, di titik-titik tertentu IKEA menempatkan produk-produk dengan permintaan tinggi meskipun area tersebut bukanlah bagian fungsionalnya.


Gambar 8. Showroom dan personel logistik IKEA

  1. Transformasi Budaya Organisasi

IKEA memiliki budaya dan nilai tersendiri dalam membangun organisasinya. Kekuatan dari kerja sama antarmanusia, memimpin dengan memberi contoh serta menemukan cara terbaik untuk menyelesaikan berbagai hal telah menumbuhkan budaya unik yang mampu menginspirasi, menantang hingga menjadi berdaya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Berawal dari kondisi sulit di desa asal Ingvar Kamprad – pendiri IKEA – yaitu di kota Småland, justru membuat Ingvar tumbuh menjadi lebih kreatif dan cerdik. Hingga pada tahun 1985, Ingvar memperkenalkan IKEA Way Program, yaitu program pelatihan karyawan yang memungkinkan karyawan IKEA lebih memahami cara kerja dan bagaimana bertindak.

Restrukturisasi budaya organisasi pada IKEA terjadi secara mendalam – tidak hanya sekadar teknologi tetapi budaya adaptif dan membangun kolaborasi. Perusahaan menggalakkan kolaborasi lintas unit, memperkuat komunikasi internal serta menerapkan cara kerja yang lebih agile dan terdesentralisasi. Terdapat tiga dimensi penting untuk transformasi ini: [10]

  • Penguatan struktur yang lebih datar (merata), dengan lebih banyak tanggung jawab diberikan pada cabang local.
  • Adopsi teknologi digital yang menggeser peran serta tugas karyawan menjadi pengelola platform e-commerce dan mengontrol sistem automasi
  • Budaya inklusif dan inovatif dipromosikan, dimana karyawan didorong untuk menyumbang ide, belajar teknologi baru dan merespon perubahan dengan cepat.

III. Implikasi Transformasi Digital IKEA

Transformasi digital yang dijalankan IKEA tidak hanya mengadopsi teknologi dalam menjalankan operasional perusahaan, tetapi juga mencakup dasar perubahan pada bagaimana perusahaan merancang, mengelola serta mengoptimalkan sumber dayanya. Langkah digitalisasi telah menghasilkan perubahan signifikan pada efisiensi operasional, daya saing (competitiveness) perusahaan hingga kepuasan pelanggan. Melalui inisiasi transformasi digital yang terintegrasi, IKEA dapat mempercepat proses bisnis, ketepatan pengambilan keputusan serta memperluas jangkauan global. [16] Berikut ini beberapa dampak positif yang mencerminkan keberhasilan adaptasi IKEA dalam era digitalisasi:

  1. Berdasarkan data pada Inter IKEA Group Financial Summary FY24 [17], peningkatan penjualan e-commerce di tahun 2024 naik 21% (meningkat 4,5% dari tahu 2023) dan khususnya selama pandemi pada tahun 2020 meningkat 45%.
  2. Pengurangan biaya operasional untuk inventori dan pengiriman, dimana hal ini terjadi karena dari supplier langsung dikirim ke toko dan diterima oleh Sesuai dengan konsepnya yang terkenal, DIY atau do it yourself IKEA mendorong pelanggan untuk membeli produknya yang siap dirakit mandiri. Dengan demikian, biaya tambahan untuk material handling menjadi hampir tidak ada (serta biaya assembling) karena produk langsung ke tangan konsumen.
  3. Pengalaman pelanggan lebih baik melalui navigasi online serta visualisasi AR. Hal ini mempermudah pelanggan dalam menemukan produk serta merencanakan desain atau tata letak ruangan impiannya. Dengan hal ini, IKEA juga mematahkan stigma bahwa ruangan kecil tidak memerlukan desain interior yangSebaliknya, IKEA memberikan insight untuk ruangan minimalis dengan berbagai alternatif desain, pengaturan lampu, warna dan yang terpenting adalah suasana.
  4. Penerapan konsep sustainability yang lebih mendalam, yang terbagi menjadi tiga fokus utama yaitu hidup yang sehat dan berkelanjutan (healthy and sustainability living), iklim, alam dan sirkularitas (climate, nature and circularity) – yang menekankan pada regenerasi sumber, penurunan emisi serta penghijauan kembali serta keadilan dan kesetaraan (fair and equality).


Gambar 9. Fair and equality

Disamping itu, tidak selamanya perencanaan berjalan sesuai dengan yang diharapkan. IKEA juga menghadapi beberapa kesulitan atau hambatan dalam proses digitalisasi. Berikut ini beberapa hambatan yang dihadapi IKEA:

  1. Integrasi sistem digital ke cabang di berbagai negara membutuhkan investasi biaya yang besar (karena IKEA global yang terpusat di IKEA Swedia).
  2. Investasi pada perubahan budaya organisasi melalui pengenalan kosep People and Planet Positive yang dapat dilihat pada beberapa proyek, yaitu proyek blue bag, layanan pemindahan dan daur ulang IKEA, kompetisi desain batik untuk co- worker IKEA, program save the children hingga pemilahan sampah rumah
  3. Tantangan keamanan data dan privasi

IKEA membuat kebijakan privasi yang berisi bahwa data pribadi konsumen digunakan oleh IKEA untuk mengirimkan informasi seputar kegiatan bisnis IKEA. Dimulai dari penggunaan Wi-Fi di IKEA, mengunduh aplikasi, membuat akun hingga melakukan transaksi di aplikasi mobile IKEA. Dengan akses yang demikian rupa, IKEA memberikan jaminan bahwa data konsumen tidak akan disalahgunakan dan hanya digunakan sebagai analisis statistic penjualan serta pelaksanaan kegiatan pemasaran.

Beberapa competitor IKEA di Indonesia saat ini (yang juga sudah mulai melakukan transformasi digital dalam sistem rantai pasoknya):

  1. Informa
  2. Dekoruma
  3. Fabelio
  4. Atria Furniture

IV. Kesimpulan

Transformasi digital adalah strategi penting untuk tetap relevan dan kompetitif dalam pasar global. Saat ini, IKEA masih dalam proses perjalanan digital yang Panjang dan memerlukan pembaharuan. Kedepannya mungkin dapat menambahkan layanan personalisasi serta rekomendasi AI yang ditambahkan pada aplikasi mobile IKEA.

 

Referensi